Tugu Pal Putih
Tugu Pal Putih atau Tugu Yogyakarta, berlokasi di perempatan Jl. Marga Utama, Jl. Jend. Sudirman, dan Jl. P. Diponegoro. Tugu Pal Putih dibangun pada masa Sri Sultan HB VII (1877-1921). Disebut 'Pal Putih' karena tugu ini berwarna putih. Keberadaannya menjadi salah satu 'tetenger' (penanda) Sumbu Filosofis Yogyakarta yang membentang arah utara-selatan, dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya.
Tugu Pal Putih merupakan pengganti Tugu Golong Gilig yang dibangun tahun 1756. Nama 'Golong Gilig' menunjuk bentuk awal tugu yang berupa silinder (golong) dengan puncak berupa bulatan (gilig) -- mereferensikan filosofi 'Manunggaling Kawula Gusti' atau bersatunya rakyat dengan rajanya, dan manusia dengan Sang Pencipta. Pada masa lalu, 'gilig' pada puncak tugu digunakan sebagai titik pandang ketika Sri Sultan 'sinawaka' (meditasi) di Bangsal Manguntur Tangkil.
Tugu Golong Gilig roboh akibat gempa tektonik tanggal 10 Juni 1867, dan dikenang dengan candra sengkala 'Obah Trus Pitung Bumi' (tujuh bumi terus berguncang -- menunjuk pada angka 1796 Jawa). Baru pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII, tugu ini dibangun kembali dan diresmikan tanggal 3 Oktober 1889, yang kemudian disebut Tugu Pal Putih. Pembangunan kembali tugu mengubah bentuk menjadi persegi dan berujung lancip. Selain itu, ketinggian tugu yang semula 25 meter dipendekkan menjadi 15 meter. Ditengarai, desain baru ini merupakan strategi Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat pada desain tugu sebelumnya.
Meski bentuk tugu berubah, namun masyarakat Yogyakarta tetap memaknainya sebagai simbol persatuan rakyat dengan raja, serta manusia dengan Tuhannya. Tugu Pal Putih menjadi simbol tempat 'Alif Mutakallamin Wachid' (Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, seru sekalian alam). Oleh karena itu, Tugu Pal Putih secara filosofis dimaknai sebagai pusat orientasi manusia dalam laku sembah dan aktivitas sehari-hari, dengan senantiasa mengingat kebesaran Tuhan sebagai 'Sangkan Paraning Dumadi' (dari mana manusia berasal, dan ke mana manusia kembali).
sumber : paniradyakaistimewaan